Tunas Muda Pelopor Integrasi Bangsa
Indonesia adalah
Negara yang sangat kaya. Menurut Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia,
terdapat 17.504
pulau, 7.870 di antaranya telah mempunyai nama dan 9.634 belum memiliki nama.
Dengan pulau yang begitu banyak, tentu Indonesia tak lepas dari keberagaman. Dari banyak pulau tersebut, menurut sensus
BPS tahun 2010, terdapat 300 kelompok
etnik dan 1.340 suku bangsa. Menurut Kongres Bahasa
Indonesia IX di Jakarta 28 Oktober sampai 1 November 2008, terdapat 746 bahasa
daerah dari Sabang samapi Merauke, dan Direktorat Internalisasi Nilai dan
Diplomasi Budaya telah
menetapkan 77 karya budaya yang didaftarkan
sebagai “Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia”. Enam
diantaranya telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Indonesia yang diakui oleh
UNESCO. Dari keberagaman tersebut kita tidak terlepaskan dari ancaman
perpecahan. Nah, bagaimanakah mengantisipasi perpecahan itu? Dan apa yang dapat
kita lakukan sebagai pemuda untuk upaya integrasi bangsa?
Menurut Wikipedia Indonesia, integrasi berasal dari bahasa inggris "integration"
yaitu kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi bangsa merupakan proses penyesuaian di antara
unsur-unsur yang saling berbeda namun menghasilkan pola kehidupan masyarakat
yang memilki keserasian fungsi. Di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan
bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih
tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing.
Mari kita tengok kembali historis bangsa kita. Kita awali
dengan sejarah Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional berdiri sejak adanya
Organisasi Budi Utomo. Budi
Utomo didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA, yaitu Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20
Mei 1908. Menurut Goenawan
Mangoenkoesoemo,
organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat
politik. Namun, berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan
kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah
manifestasi perjuangan nasionalisme. Karena Indonesia mengajarkan kepada
bangsanya bahwa "Nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural
namun bersifat nasional. Meskipun organisasi ini dipimpin kaum tua yaitu Dr.
Soetomo, namun penggerak mobilitas
persatuan organisasi ini adalah para pemuda. Dari organisasi Budi Utomo inilah awal dari kebangkitan dan persatuan bangsa.
Selain Budi Utomo, peran pemuda dalam integrasi bangsa
ialah Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II.
Kongres Pemuda I dan II dipelopori oleh dua organisasi pemuda yaitu Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan Pemuda Indonesia. Kedua organisasi ini memiliki
tujuan besar yaitu memupuk dan membangun rasa persaudaraan dengan menghilangkan
rasa kedaerahan atau etnosentrisme
dan mengganti dengan jiwa nasionalisme. Upaya yang mereka lakukan untuk menyatukan pemuda yaitu dengan memajukan olah raga, menerbitkan majalah,
menyelenggarakan rapat-rapat, dan sebagainya.
Kongres
Pemuda I dihadiri oleh wakil-wakil dari Jong Java, JIB, JSB, Jong Ambon, Sekar
Rukun, Studerende Minahassers, Jong Batak, dan Pemuda Theosofie. Dari Kongres
Pemuda I tersebut,
cita-cita persatuan Indonesia diakui. Tetapi gagal membentuk badan sentral.
Sebab masih terdapat perbedaan pendapat dan kesalahpahaman di antara sesama
anggota.
Setelah itu,
diadakan pertemuan di antara organisasi-organisasi pemuda kembali, untuk membangun organisasi
tunggal bagi organisasi pemuda. Akhirnya terbentuklah Kongres Pemuda II yang
diselenggarakan di Jakarta, 27-28
Oktober 1928 atau yang kita kenal sebagai
Sumpah Pemuda. Hakikat dari Kongres Pemuda II ini
ialah pengakuan dan janji setia seluruh pemuda Indonesia untuk “Berbangsa Satu,
Bertanah Air Satu, dan Berbahasa Persatuan Satu yakni Indonesia”.
Bila
melihat organisasi Budi Utomo yang masih dipimpin oleh kaum tua dan Kongres
Pemuda merupakan bentuk upaya pemersatu pemuda sebaya. Apakah sampai di situ saja
peran pemuda? Jawabannya jelas tidak. Pemuda juga mampu menjadi media pemersatu bangsa terhadap kaum tua
bahkan lebih dari itu. Mari kita tilik kembali peristiwa Rengasdengklok. Paska
dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang, pemuda Indonesia
seakan terbakar semangat kepahlawanannya. Mereka ingin memanfaatkan peluang
untuk mewujudkan kemerdekaan. Namun keinginan itu ditolak oleh kaum tua yaitu
Bung Karno dan Bung Hatta dengan beberapa
alasan. Pemuda yang memiliki semangat
berapi-api pun tak mau menyerah. Akhirnya,
pada 16 Agustus 1945 kaum muda yaitu Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana membawa Bung Karno dan Bung
Hatta ke Rengasdengklok untuk meyakinkan para pemimpin bangsa tersebut untuk
tidak menerima iming-iming kemerdekaan dari Jepang. Namun dengan mengupayakan
kemerdekaan secepatnya. Dan dari peristiwa tersebutlah Teks Proklamasi berhasil diproklamirkan pada
17 Agustus 1945 dan lahirlah Negara Indonesia. Meskipun proklamasi tidak serta
merta karena upaya pemuda yang pemberani, namun upaya tersebut
membuktikan dengan keinginan, keyakinan, dan kegigihan, para pemuda pun berpengaruh atau mampu
mempersuasif yang berdampak pada nasib seluruh bangsa.
Kemudian apa
yang dapat kita lakukan di era modern ini, di mana kita sudah tidak
terbelenggu lagi oleh penjajahan fisik? Meskipun kita tidak
terjajah secara fisik, bukan berarti kita terbebas dari jajahan ideologi
maupun bentuk jajahan halus lainnya. Di sinilah persatuan dan
kesatuan sangat dibutuhkan. Pemudalah yang menjadi acuan
dan tolak ukur dalam upaya pemersatu bangsa. Agar tetap tercipta
stabilitas integrasi dan pertahanan nasional. Karena pemuda memiliki peran dan kesempatan yang
lebih besar.
Lalu apa
yang dapat kita lakukan dengan
kesempatan besar tersebut? Tentu dengan memanfaatkan kesempatan itu. Diantaranya dengan
bergabung dalam kegiatan, komunitas, atau organisasi kepemudaan, seperti
PRAMUKA, PMR, Festival Budaya, Olimpiade, Pemilihan Duta, dan lain-lain. Dengan
mengikuti kegiatan tersebut kita dilatih untuk berwawasan luas, bertoleransi,
dan menghargai perbedaan. Dalam kegiatan ini pula kita dilatih dan diasah
dengan keterampilan dan berbagai pengetahuan. Apabila kita mampu, kita dapat
mewakili organisasi kita dalam pertemuan yang lebih besar seperti Kongres
Pemuda di atas. Hal itu bertahap mulai dari ranting (kecamatan), cabang
(kabupaten/kota), daerah (provinsi), bahkan hingga tingkat nasional. Misalnya
Perkemahan Nasional, Jumbara PMR Nasional, Festival Budaya Nasional, Olimpiade Nasional, maupun
kegiatan nasional lainnya.
Dengan
kegiatan sampai tingkat nasional tersebut kita akan bertemu dengan
perwakilan-perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia. Di situlah kita
merasakan perbedaan yang sangat mencolok baik dari bahasa maupun kebisaan
lainnya. Dengan terlatih untuk hidup saling menghargai dan toleransi, secara otomatis kita dapat
melebur dengan kawan-kawan baru sebagai satu kesatuan yaitu keluarga besar
“Anak Indonesia”.
Selain
mengikuti kegiatan di atas upaya yang kita lakukan yaitu menempuh pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Seperti kuliah, sekolah kedinasan, dan lain-lain. Lembaga
pendidikan tinggi tersebut jelas di sana terdapat mahasiswa dari berbagai
daerah di Indonesia.
Sebagai
pemuda, kita harus pandai-pandai
membuka mata dan telinga. Gali informasi sebanyak-banyaknya. Karena dengan
informasi kita akan lebih mengerti, dengan lebih mengerti kita akan mudah
beradaptasi, dengan mudah beradaptasi kita tidak mudah untuk diprovokasi.
Apabila kita berwawasan luas dan tidak mudah diprovokasi, maka kita akan pandai
memfilterisasi segala sesuatu sehingga
lebih mudah megupayakan integrasi.
Lalu apa
kontribusi yang dapat kita berikan kepada bangsa? Apakah hanya cukup perekatan
dipersatuan
di
antara para pemudanya saja? Tentu tidak.
Dengan pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman. Para pemuda
khususnya output pendidikan diharapkan
mampu menjadi motor penggerak implementasi ilmu yang didapatkan, untuk didedikasikan kepada
masyarakat.
Dalam masyarakat, jelas terdapat
berbagai lapisan. Mulai dari lapisan usia, hingga status sosial. Di sini, pemuda harus mampu manjadi
penengah dan penyeimbang antara perbedaan dari berbagai kalangan tersebut.
Misalnya dengan aktifnya pemuda dalam acara
kemasyarakatan, seperti acara keagamaan, budaya daerah, dan lain-lain. Dengan
munculnya satu atau beberapa pemuda yang berkompeten, maka akan dapat mengundang pemuda lainnya untuk
bergabung. Bahkan, mampu membangkitkan kembali
semangat kaum tua. Sehingga hal ini dapat merekatkan kembali dan terciptalah suatu persatuan
di masyarakat itu sendiri.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan suatu wirausaha. Seperti di Indonesia, banyak pemuda yang berhasil
memanfaatkan keterampilan dan kesempatannya untuk berwirausaha.
Misalnya saja Hafiza adalah seorang mahasiswi dan menjadi salah satu yang perintis
bakti sosial berbasis entrepreneurship. Gadis yang lahir di Jakarta,
22 September 1990 membudidayakan ibu-ibu penderita kusta di Sitanala dengan
menjahit manik-manik di jilbab yang akan dijual untuk dana kesejahteraan
mereka. Nalacity Foundation berhasil masuk Kick Andy Show dan Pesta
Wirausaha 2013 yang digelar di Jakarta International Expo tempo hari. Selain
Hafiza ada juga Bong Chandra. Bong berhasil membangun usaha sebagai pengembang
properti sejak usia 22 tahun. Dengan usaha kerasnya ia kini memiliki 6
perusahaan dan mengawasi 250 karyawan.
Mereka
yang awalnya hanya bermodal beberapa rupiah saja, memiliki teman atau
karyawan 2 atau 3 orang saja,
dengan
inovasi dan kreasi mereka mampu berkembang dan memiliki karyawan yang banyak. Dengan
demikian, pemuda mampu menjadi penggerak ekonomi masyarakat sekitar. Dan tanpa disadari, hal itu dapat merekatkan
hubungan masyarakat tersebut dalam bentuk jalinan mitra kerja.
Dalam hal ini kita harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang.
Bentengi diri dengan iman dan taqwa, perakaya diri dengan berbagai informasi,
optimalkan potensi dengan mengasah keterampilan, dan memiliki konsep diri untuk
dapat berbaur dengan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Dengan demikian, kita tahu bahwa banyak upaya yang
dapat kita lakukan untuk merekatkan bangsa. Baik dengan
mengikuti kegiatan, bersekolah yang tinggi, membangun wirausaha, maupun upaya-upaya lainnya. Dengan bukti-bukti di atas dapat disimpulkan bahwa
tunas muda mampu menjadi pelopor integrasi bangsa.
Makhyatul Fikriya
XI-MIA 6
Teknik Kepramukaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar