Menu bar

Sabtu, 25 Juli 2015

Artikel (Juara 3 Nasional Racana Brawijaya UB)

Tunas Muda Pelopor Integrasi Bangsa

Indonesia adalah Negara yang sangat kaya. Menurut Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, terdapat 17.504 pulau, 7.870 di antaranya telah mempunyai nama dan 9.634 belum memiliki nama. Dengan pulau yang begitu banyak, tentu Indonesia tak lepas dari keberagaman. Dari banyak pulau tersebut, menurut sensus BPS tahun 2010, terdapat 300 kelompok etnik dan 1.340 suku bangsa. Menurut Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta 28 Oktober sampai 1 November 2008, terdapat 746 bahasa daerah dari Sabang samapi Merauke, dan Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya telah menetapkan 77 karya budaya yang didaftarkan sebagai “Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia”. Enam diantaranya telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Indonesia yang diakui oleh UNESCO. Dari keberagaman tersebut kita tidak terlepaskan dari ancaman perpecahan. Nah, bagaimanakah mengantisipasi perpecahan itu? Dan apa yang dapat kita lakukan sebagai pemuda untuk upaya integrasi bangsa?
Menurut Wikipedia Indonesia, integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yaitu kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi bangsa merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda namun menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing.
Mari kita tengok kembali historis bangsa kita. Kita awali dengan sejarah Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional berdiri sejak adanya Organisasi Budi Utomo. Budi Utomo didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA, yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Menurut Goenawan Mangoenkoesoemo, organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Namun, berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi perjuangan nasionalisme. Karena Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "Nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural namun bersifat nasional. Meskipun organisasi ini dipimpin kaum tua yaitu Dr. Soetomo, namun penggerak mobilitas persatuan organisasi ini adalah para pemuda. Dari organisasi Budi Utomo inilah  awal dari kebangkitan dan persatuan bangsa.
            Selain Budi Utomo, peran pemuda dalam integrasi bangsa ialah Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II.  Kongres Pemuda I dan II dipelopori oleh dua organisasi pemuda yaitu Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan Pemuda Indonesia. Kedua organisasi ini memiliki tujuan besar yaitu memupuk dan membangun rasa persaudaraan dengan menghilangkan rasa kedaerahan atau etnosentrisme dan mengganti dengan jiwa nasionalisme. Upaya yang mereka lakukan untuk menyatukan pemuda yaitu dengan memajukan olah raga, menerbitkan majalah, menyelenggarakan rapat-rapat, dan sebagainya.
            Kongres Pemuda I dihadiri oleh wakil-wakil dari Jong Java, JIB, JSB, Jong Ambon, Sekar Rukun, Studerende Minahassers, Jong Batak, dan Pemuda Theosofie. Dari Kongres Pemuda I tersebut, cita-cita persatuan Indonesia diakui. Tetapi gagal membentuk badan sentral. Sebab masih terdapat perbedaan pendapat dan kesalahpahaman di antara sesama anggota.
Setelah itu, diadakan pertemuan di antara organisasi-organisasi pemuda kembali, untuk membangun organisasi tunggal bagi organisasi pemuda. Akhirnya terbentuklah Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Jakarta,  27-28 Oktober 1928 atau yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Hakikat dari Kongres Pemuda II ini ialah pengakuan dan janji setia seluruh pemuda Indonesia untuk “Berbangsa Satu, Bertanah Air Satu, dan Berbahasa Persatuan Satu yakni Indonesia”.
            Bila melihat organisasi Budi Utomo yang masih dipimpin oleh kaum tua dan Kongres Pemuda merupakan bentuk upaya pemersatu pemuda sebaya. Apakah sampai di situ saja peran pemuda? Jawabannya jelas tidak. Pemuda juga mampu menjadi media pemersatu bangsa terhadap kaum tua bahkan lebih dari itu. Mari kita tilik kembali peristiwa Rengasdengklok. Paska dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang, pemuda Indonesia seakan terbakar semangat kepahlawanannya. Mereka ingin memanfaatkan peluang untuk mewujudkan kemerdekaan. Namun keinginan itu ditolak oleh kaum tua yaitu Bung Karno dan Bung Hatta dengan beberapa alasan. Pemuda yang memiliki semangat berapi-api pun tak mau menyerah. Akhirnya, pada 16 Agustus 1945 kaum muda yaitu Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk meyakinkan para pemimpin bangsa tersebut untuk tidak menerima iming-iming kemerdekaan dari Jepang. Namun dengan mengupayakan kemerdekaan secepatnya. Dan dari peristiwa tersebutlah  Teks Proklamasi berhasil diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dan lahirlah Negara Indonesia. Meskipun proklamasi tidak serta merta karena upaya pemuda yang pemberani, namun upaya tersebut membuktikan dengan keinginan, keyakinan, dan kegigihan, para pemuda pun berpengaruh atau mampu mempersuasif yang berdampak pada nasib seluruh bangsa.
            Kemudian apa yang dapat kita lakukan di era modern ini, di mana kita sudah tidak terbelenggu lagi oleh penjajahan fisik? Meskipun kita tidak terjajah secara fisik, bukan berarti kita terbebas dari jajahan ideologi maupun bentuk jajahan halus lainnya. Di sinilah persatuan dan kesatuan sangat dibutuhkan.  Pemudalah yang menjadi acuan dan tolak ukur dalam upaya pemersatu bangsa. Agar tetap tercipta stabilitas integrasi dan pertahanan nasional. Karena  pemuda memiliki peran dan kesempatan yang lebih besar.
            Lalu apa yang dapat kita  lakukan dengan kesempatan besar tersebut? Tentu dengan memanfaatkan kesempatan itu. Diantaranya dengan bergabung dalam kegiatan, komunitas, atau organisasi kepemudaan, seperti PRAMUKA, PMR, Festival Budaya, Olimpiade, Pemilihan Duta, dan lain-lain. Dengan mengikuti kegiatan tersebut kita dilatih untuk berwawasan luas, bertoleransi, dan menghargai perbedaan. Dalam kegiatan ini pula kita dilatih dan diasah dengan keterampilan dan berbagai pengetahuan. Apabila kita mampu, kita dapat mewakili organisasi kita dalam pertemuan yang lebih besar seperti Kongres Pemuda di atas. Hal itu bertahap mulai dari ranting (kecamatan), cabang (kabupaten/kota), daerah (provinsi), bahkan hingga tingkat nasional. Misalnya Perkemahan Nasional, Jumbara PMR Nasional, Festival Budaya Nasional, Olimpiade Nasional, maupun kegiatan nasional lainnya.
            Dengan kegiatan sampai tingkat nasional tersebut kita akan bertemu dengan perwakilan-perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia. Di situlah kita merasakan perbedaan yang sangat mencolok baik dari bahasa maupun kebisaan lainnya. Dengan terlatih untuk hidup saling menghargai dan toleransi, secara otomatis kita dapat melebur dengan kawan-kawan baru sebagai satu kesatuan yaitu keluarga besar “Anak Indonesia”.
            Selain mengikuti kegiatan di atas upaya yang kita lakukan yaitu menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti kuliah, sekolah kedinasan, dan lain-lain. Lembaga pendidikan tinggi tersebut jelas di sana terdapat mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.
            Sebagai pemuda, kita harus pandai-pandai membuka mata dan telinga. Gali informasi sebanyak-banyaknya. Karena dengan informasi kita akan lebih mengerti, dengan lebih mengerti kita akan mudah beradaptasi, dengan mudah beradaptasi kita tidak mudah untuk diprovokasi. Apabila kita berwawasan luas dan tidak mudah diprovokasi, maka kita akan pandai memfilterisasi segala sesuatu sehingga lebih mudah megupayakan integrasi.
            Lalu apa kontribusi yang dapat kita berikan kepada bangsa? Apakah hanya cukup perekatan dipersatuan di antara para pemudanya saja?  Tentu tidak. Dengan pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman. Para pemuda khususnya output pendidikan diharapkan mampu menjadi motor penggerak implementasi ilmu yang didapatkan, untuk didedikasikan kepada masyarakat.
Dalam masyarakat, jelas terdapat berbagai lapisan. Mulai dari lapisan usia, hingga status sosial. Di sini, pemuda harus mampu manjadi penengah dan penyeimbang antara perbedaan dari berbagai kalangan tersebut. Misalnya dengan aktifnya pemuda dalam acara kemasyarakatan, seperti acara keagamaan, budaya daerah, dan lain-lain. Dengan munculnya satu atau beberapa pemuda yang berkompeten, maka akan dapat mengundang pemuda lainnya untuk bergabung. Bahkan, mampu membangkitkan kembali semangat kaum tua. Sehingga hal ini dapat merekatkan kembali dan terciptalah suatu persatuan di masyarakat itu sendiri.
            Selain itu, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan suatu wirausaha. Seperti di Indonesia, banyak pemuda yang berhasil memanfaatkan keterampilan dan kesempatannya untuk berwirausaha.
            Misalnya saja Hafiza adalah seorang mahasiswi dan menjadi salah satu yang perintis bakti sosial berbasis entrepreneurship. Gadis yang lahir di Jakarta, 22 September 1990 membudidayakan ibu-ibu penderita kusta di Sitanala dengan menjahit manik-manik di jilbab yang akan dijual untuk dana kesejahteraan mereka. Nalacity Foundation berhasil masuk Kick Andy Show dan Pesta Wirausaha 2013 yang digelar di Jakarta International Expo tempo hari. Selain Hafiza ada juga Bong Chandra. Bong berhasil membangun usaha sebagai pengembang properti sejak usia 22 tahun. Dengan usaha kerasnya ia kini memiliki 6 perusahaan dan mengawasi 250 karyawan.
 Mereka yang awalnya hanya bermodal beberapa rupiah saja, memiliki teman atau karyawan 2 atau 3 orang saja, dengan inovasi dan kreasi mereka mampu berkembang dan memiliki karyawan yang banyak. Dengan demikian, pemuda mampu menjadi penggerak ekonomi masyarakat sekitar. Dan tanpa disadari, hal itu dapat merekatkan hubungan masyarakat tersebut dalam bentuk jalinan mitra kerja.
Dalam hal ini kita harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang. Bentengi diri dengan iman dan taqwa, perakaya diri dengan berbagai informasi, optimalkan potensi dengan mengasah keterampilan, dan memiliki konsep diri untuk dapat berbaur dengan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Dengan demikian, kita tahu bahwa banyak upaya yang dapat kita lakukan untuk merekatkan bangsa. Baik dengan mengikuti kegiatan, bersekolah yang tinggi, membangun wirausaha, maupun upaya-upaya lainnya. Dengan bukti-bukti di atas dapat disimpulkan bahwa tunas muda mampu menjadi pelopor integrasi bangsa.
           

Makhyatul Fikriya 
XI-MIA 6
Teknik Kepramukaan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar